SARDEN DALAM KALENG

Kejutan kecil hadir di pernikahan kami yangbaru seumur jagung. Tidak terbayang rasa lelah yang tidak terlalu diperhatikan akhirnya menggerogoti kekebalan fisik kami berdua. Jatuh sakit di waktu yang bersamaan. Setelah sehari yang terasa terlalu panjang dan melelahkan, akhirnya kami hanya saling pandang tanpa kuat membelai atau menggosoki punggung masing-masing dengan cairan kayuputih. Tidak ada ucapan kata apa pun, kami sudah tidak berkeinginan pada seduhan the panas atau bahkan saling mengahangatkan. Malam itu, Cuma ada senyumnya—sehyum kecil yang aku tahu pernah dikagumi banyak perempuan—dan rasa syukur bahwa kami berdua masih bisa pulang. Meski tidur dengan nyeri punggung dan terbangun berkali-kali dalam satu malam tanpa bisa saling memberikan bantuan lebih.
Keesokan paginya, suami sudah berisik. Masih jam lima sudah pula dia nyalakan lampu kamar yang sontak langsung membuyarkan mood tidur. “Devi! Devi! Aku sudah sehat!”
Karena saya tidak segera beranjak, Dia mulai gaduh di dapur. Sempat saya berpikir terlalu mulia kalau-kalu suami mencuci semua piring kotor yang tidak terurus 2 hari semenjak kami tidak sehat. Semakin gaduh dia berusaha unuk membuat saya bangun, semakin enak hati saya untuk tidur. Sampai dia mengeluarkan sepeda motor dan entah kemana. Singkatnya, suami kelaparan. Satu-satunya peralatan yang dibersihkan adalah panci rice cooker dan panci kecil yang dipakainya masak sarden. Lalu, itu menjadi pagi pertama dia memasak sarapan untuk (kami).
Sarden. Saya tidak suka sarden dalam kaleng. Suami pun sepertinya hanya mempertimbangkan sisi praktis dari makanan yang dia olah. Lama kami memandangi sisa sarden di panci yang hanya terjumput dua ekor.
“sarden ini mahal. Satu kalengnya harga 8 ribu. Isinya ada 6 ekor. Dikurangi harga bumbu-bumbu, jadi satu ekor harganya seribuan. Mahal banget.”
“kau pintar berhitung. Aku gak pernah merasa harus menghitung harga satu ekor sarden dalam kaleng.”
Tawa bahagia mengembang sejadinya yang juga menandai kami berdua sudah sangat sehat.
Ngomong-ngomong tentang sarden dalam kaleng yang harganya mahal banget, saya langsung ngeri membayangkan membeli ikan kecil (yang saya anggap setara dengan pindang) seharga 8 ribu rupiah. Pasalanya, di Pelabuhan Puger, ikan sejenis yang jauh lebih segar di jual dengan 10 ribu rupiah satu ember kecilnya. Segar dan murah. Tanpa bahan pengawet. Trus apanya yang mahal? Kalengnya kali ya?
Tidak jauh-jauh dari ikan, di minggu yang sama berita tentang pengusiran etnis muslim Rohingnya menjadi top news di beberapa harian dan media. Hampir sebagian besar dari etnis ini akhirnya melarikan diri ke laut. Sama seperti kebiasaaan hidup mereka yang bergantung pada gulungan ombak dan kayanya ikan di samudra. Sayangnya, keberadaan mereka jika kembali ke daratan tidak pernah diakui. Tragedy rohingnya ini bukan sekali dalam pekan ini saja pernah terjadi, bahkan telah berkali-kali hingga bantuan dari PBB dan aktivis kemanusiaan pun telah lama mendarat diantara mereka. Sekali ini, media sukses menjadikannya headline.
Saya tidak lagi berminat membicarakan tentang etnis maupun ideology atau menebak-nebak dari sekian banyak berita siapa gerangan yang menjadi kambing hitam atas persoalan ini. Semua tentang ideology dan teritori biasanya menjadi blunder tersendiri. Sebut saja tentang holylandnya Israel. Selesaikah itu hingga kini? Tidak. Panjang dan semakin memebelukar saja sepertinya. Sama kira-kira tentang rohingnya, berawal dari pengusiran satu ke pengusiaran lainnya. Yang tidak pernah saya pahami adalah kenapa manusia sulit sekali berbagi? Selalu saja ada lapisan tersendiri bagi etnis, agama atau bahkan gender. Di Indonesia, tidak ada Negara asing yang terlalu menonjol sebagai ras yang perlu dijadikan isu strata social, maslahnya malah dari etnis-etnis di dalam Negara itu sendiri. Tentang ke-jawa-an yang kadang terlalu dilebih-lebihkan. Di Malaysia, lebih santer lagi kita tahu kalau ada sekat antara melayu, cina dan india. Lalu di belahan bumi lainnya antara kulit putih dan kulit hitam. Antara agama A dan B. Padahal semuanya biasanya Cuma mengacu pada system mayoritas.
Apakah yang membuat manusia lebih berarti adalah karena jumlahnya lebih banyak? Begitu mungkin kalau kita sedang membangun angakatan perang. Tapi dalam level paling sederhana? Bukankah setiap orang ingin terpenuhi hak-hak dasarnya? Lalu dihormati/dihargai keberadaannya? Banyak dari kita menggebu-gebu dan berapi-api ketika menjawab dan melakoni hal-hal untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi begitu dihadapkan pada keberadaan orang lain yang juga sedang berusaha memenuhi kodrat kemanusiaannya, kita lupa. Kita bisa sampai tidak menganggap kalau yang disebelah kita juga berjalan dengan tegak dengan dua kaki. Sekedar persamaan spesies saja kita kadang alpa untuk ingat. Apalagi, mungkin, untuk mempersilakan atau sama-sama melakoni hidup.
Kita tidak berbeda dengan sekumpulan ikan-ikan kecil dilautan yang berenang pada kedalaman yang sama. Untuk plankton, oksigen, sinar matahari dan saling melindungi. Setelahnya, Kalau kita sampai di daratan kemudian beberapa ada di dalam kaleng sedangkan yang lainnya tergeletak di atas daun pisang di pesisir apakah itu membuat kita berbeda? Apakah sebuah tempat, status atau apa pun itu yang melekat pada personal kita menghapuskan hakikat kita sebagai sesama makhluk hidup? Kaleng tetap kaleng. Itu Cuma wadah dengan berjuta label. Saat ikan-ikan yang sama dikembalikan ke laut, taulah kita tidak ada yang berbeda dari satu dengan yang lainnya.
Sarden, lain kali semoga kamu menjadi menu sarapan bersama kabar yang selalu membawa gembira.

Leave a comment